Ja’far bin abi Thalib
Hari ini kita akan melihat bagaimana teladan seorang sahabat..selain seorang sahabat belau juga keluarga Rasulullah SAW..beliau adalah Ja’far
bi abi Thalib.. beliau merupakan putera dari Abu Thalib (paman dari nabi Muhammad
S.A.W). Ja’far di besarkan oleh pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib, karena
ayahnya yang miskin harus menghidupi keluarga yang besar. Ia seorang yang
gagah, tampan, berwibawa. Warna kulitnya yang cerah bercahaya,
kelemah-lembutannya yang sopan santun, kebaikannya yang rendah hati dan kasih
sayang, serta kebersihan hidup dan kesucian jiwanya, semua itu memperlihatkan
kepada kita betapa miripnya jasmani dan perangainya dengan Rasulullah saw. Pada
dirinya juga bertemau pokok kebaikan dan keutamaan. Ia diberi gelar oleh
Rasulullah saw sebagai “bapak si miskin.” Berbeda dengan
saudara-saudara Quraisy-nya yang lain yang rata-rata kaya raya dan merupakan
kalangan bangsawan terkemuka. Abu Hurairah pernah bercerita tentangnya : “Orang yang paling baik dan
mengasihi orang-orang miskin adalah Ja’far bin Abi Thalib”. Beliau juga
berkata : “tidak ada seorangpun yang memakai sendal, mengendarai unta
dan tidur diatas debu setelah Rasulullah saw yang lebih baik selain
Ja’far bin Abi Thalib”. Abu Thalib yang merupakan paman nabi justru hidup
kekurangan. Namun meski kurang mampu, Abu Thalib memiliki keluarga yang sangat
besar sehingga ia kesulitan untuk menafkahi semua anggota keluarganya. Apalagi
ketika Makkah didera kekeringan hebat yang membuat banyak orang kelaparan.
Pada saat kekeringan hebat itulah, Muhammad -- sebelum menjadi Rasul Allah -- berkata kepada pamannya yang lain, yaitu Abbas, untuk membantu kehidupan keluarga Abu Thalib. Bersama Abbas, Muhammad mengambil alih sebagian tanggungan Abu Thalib atas keluarganya. Abu Thalib pun setuju dan merelakan anaknya diasuh oleh Muhammad dan Abbas. Muhammad mengambil Ali bin Abi Thalib sebagai tanggungannya, sementara Abbas mengambil Jafar bin Abi Thalib bersamanya. Anak yang lain, Aqeel, tetap diasuh Abu Thalib.
Ja’far dan istrinya, Amma binti Umais memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah. Tak Jarang lagi mereka mendapat tekanan dan siksaan dari para pembesar kafir Quraisy. Memang tidak seberat dialami para budak seperti Bilal, Ammar bin Yasir, Khabbat bin Aratt dan beberapa lainnya. Tetapi kehidupan mereka di tanah kelahirannya sendiri menjadi tidak nyaman dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama barunya tersebut. Karena itu, ketika Nabi SAW menghimbau sahabat-sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), Ja'far dan istrinya segera menyambut seruan tersebut. Bahkan Nabi SAW mengangkatnya sebagai pimpinan rombongan Muhajirin pertama ini.
Sungguh hal ini sangat berat bagi Ja’far, karena harus meninggalkan tempat kelahirannya yang ia cintai. Biar pun demikian, berangkatlah rombongan itu yang terdiri dari 83 laki-laki dan 19 wanita menuju Habasyah. Maka Ja’far dan para sahabat pergi melakukan hijrah ke negeri Habsyah, namun para Quraisy telah mencium gelagat mereka, sehingga mengirim dibelakang mereka Amru bin Al-‘Ash dan Abdullah bin Abi rabi’ah –saat itu keduanya belum memeluk Islam- dengan membawa hadiah untuk diserahkan kepada Najasyi raja Habsyah saat itu; dengan harapan mau menyerahkan Ja’far dan sahabatnya untuk dibawa pulang ke Mekkah dan memaksa mereka untuk murtad (keluar dari Islam).
Pada saat kekeringan hebat itulah, Muhammad -- sebelum menjadi Rasul Allah -- berkata kepada pamannya yang lain, yaitu Abbas, untuk membantu kehidupan keluarga Abu Thalib. Bersama Abbas, Muhammad mengambil alih sebagian tanggungan Abu Thalib atas keluarganya. Abu Thalib pun setuju dan merelakan anaknya diasuh oleh Muhammad dan Abbas. Muhammad mengambil Ali bin Abi Thalib sebagai tanggungannya, sementara Abbas mengambil Jafar bin Abi Thalib bersamanya. Anak yang lain, Aqeel, tetap diasuh Abu Thalib.
Ja’far dan istrinya, Amma binti Umais memeluk Islam pada masa-masa awal di Makkah. Tak Jarang lagi mereka mendapat tekanan dan siksaan dari para pembesar kafir Quraisy. Memang tidak seberat dialami para budak seperti Bilal, Ammar bin Yasir, Khabbat bin Aratt dan beberapa lainnya. Tetapi kehidupan mereka di tanah kelahirannya sendiri menjadi tidak nyaman dan tidak bisa bebas melaksanakan ajaran agama barunya tersebut. Karena itu, ketika Nabi SAW menghimbau sahabat-sahabatnya untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia), Ja'far dan istrinya segera menyambut seruan tersebut. Bahkan Nabi SAW mengangkatnya sebagai pimpinan rombongan Muhajirin pertama ini.
Sungguh hal ini sangat berat bagi Ja’far, karena harus meninggalkan tempat kelahirannya yang ia cintai. Biar pun demikian, berangkatlah rombongan itu yang terdiri dari 83 laki-laki dan 19 wanita menuju Habasyah. Maka Ja’far dan para sahabat pergi melakukan hijrah ke negeri Habsyah, namun para Quraisy telah mencium gelagat mereka, sehingga mengirim dibelakang mereka Amru bin Al-‘Ash dan Abdullah bin Abi rabi’ah –saat itu keduanya belum memeluk Islam- dengan membawa hadiah untuk diserahkan kepada Najasyi raja Habsyah saat itu; dengan harapan mau menyerahkan Ja’far dan sahabatnya untuk dibawa pulang ke Mekkah dan memaksa mereka untuk murtad (keluar dari Islam).
Tiba waktu yang ditentukan, Amr bin Ash dan Ibnu Abi Rabiah menyampaikan
hadiah dan bingkisan yang disiapkan untuk Najasyi, Raja Habasyah,
kemudian menyampaikan maksud kedatangannya dengan gaya diplomasi yang manis dan memikat. Para
uskuppun ikut berbicara, "Benar apa yang dikatakan mereka berdua, wahai
Baginda Raja. Serahkan saja mereka kepada keduanya agar mereka bisa
dikembalikan ke negerinya dan kepada kaum kerabatnya."
Tetapi Ashamah an Najasyi adalah seorang raja yang adil, berilmu dan
beriman kuat (pada agama Nashrani yang dipeluknya) dan berakhlak mulia,
persis seperti yang digambarkan Nabi SAW kepada para sahabat yang akan
berhijrah ke Habasyah. Ia tidak akan mengambil keputusan apapun hanya
berdasarkan apa yang disampaikan oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi
Rabiah. Karena itu ia memerintahkan agar rombongan muhajirin tersebut
dibawa menghadap kepadanya.
Kaum muslimin pun mendatangi majelis Najasyi dengan hati was-was. Mereka
memang telah mengetahui kehadiran dua utusan Quraisy dan sepak
terjangnya dalam upaya mengembalikan mereka ke Makkah. Merekapun
menunjuk Ja'far bin Abu Thalib sebagai juru bicara menghadapi Najasyi.
Setibanya di majelis itu, Najasyi berkata, "Agama seperti apakah yang
kalian pegangi itu, sehingga karena agama tersebut kalian memecah belah
kaum kalian, dan kalian tidak juga memeluk agama kami atau agama lainnya
yang kami kenali??"
Sebagai juru bicara kaum muhajirin yang ditunjuk, Ja'far maju menghadap
ke Najasyi. Apa yang dikatakannya akan menjadi penentu, apakah mereka
akan tetap tinggal di Habasyah dan dengan tenang bisa melaksanakan
ibadah, atau apakah mereka akan kembali ke Makkah dan menjadi sasaran
siksaan dan pengejaran untuk memaksa mereka kembali ke agama
jahiliahnya?
Ja'far berkata, "Wahai Tuan Raja, dulu kami pemeluk agama jahiliah yang
menyembah berhala-berhala, memakan bangkai, berbuat mesum, yang kuat
menindas yang lemah, memutuskan tali persaudaraan dan berbagai pekerti
buruk lainnya. Lalu Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami
sendiri, yang sangat kami kenali nasab, kejujuran, amanah dan kesucian
hatinya. Beliau menyeru kami untuk hanya menyembah Allah dan tidak
menyekutukannya. Beliau juga memerintahkan kami untuk berbuat jujur,
amanah….."
Ja'far-pun menyebutkan berbagai macam perintah Islam yang harus
dilaksanakan dan juga larangan-larangan yang harus ditinggalkan.
Kemudian ia meneruskan, "….Tetapi kaum kami memusuhi kami, menyiksa dan
menimbulkan berbagai cobaan dengan tujuan mengembalikan kami kepada
penyembahan berhala dan menghalalkan berbagai macam keburukan seperti
dahulu. Mereka menekan dan mempersempit ruang gerak kami, menghalangi
kami dari melaksanakan ajaran agama kami sehingga Nabi SAW kami
memerintahkan kami pergi ke negeri tuan, dan memilih tuan daripada orang
lainnya…!! Kami gembira mendapat perlindungan tuan, dan kami berharap
agar kami tidak didzalimi di sisi tuan, Wahai tuan Raja!!"
Najasyi terdiam beberapa saat, merenungi penjelasan Ja'far yang panjang
lebar tersebut. Kemudian ia berkata, "Apakah kalian bisa membacakan
sedikit dari ajaran kalian kepadaku??"
"Bisa, tuan Raja, " Kata Ja'far.
Kemudian ia membacakan beberapa ayat-ayat awal dari Surah Maryam.
Najasyi dan beberapa orang uskup dengan ta'dhim mendengar bacaan Ja'far,
tanpa terasa mereka berurai air mata sehingga membasahi jenggotnya.
"Cukup," Kata Najasyi, "Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa Isa benar-benar keluar dari misykat yang sama…"
Misykat adalah lubang di tembok tempat menaruh lampu, yang dari tempat
itu cahaya menerangi seluruh ruangan. Dengan perkataannya itu berarti
Najasyi mengakui bahwa Islam adalah agama wahyu, sebagaimana agama
Nashrani yang dipeluknya.
Kemudian Najasyi berpaling kepada dua utusan Quraisy tersebut dan
berkata, "Pergilah kalian! Sungguh aku tidak akan pernah menyerahkan
mereka kepada kalian, tidak akan pernah !!"
Tak ada pilihan bagi keduanya kecuali pergi dari hadapan Najasyi. Tetapi
Amr bin Ash sempat berkata pelan, "Demi Allah, besok aku akan
mendatangkan mereka lagi dengan sesuatu yang bisa membinasakan mereka."
"Jangan lakukan itu," Kata Ibnu Abi Rabiah, "Bagaimanapun mereka masih kerabat kita walaupun mereka menentang kita…!!"
Tetapi Amr bin Ash tidak memperdulikan saran temannya tersebut. Esoknya
ia menghadap Najasyi dan berkata, "Wahai tuan Raja, sesungguhnya mereka
menyampaikan perkataan yang menyalahi Tuan dalam masalah Isa bin
Maryam!!"
Sekali lagi Najasyi mengirim utusan memanggil kaum muhajirin tersebut untuk menjelaskan masalah Isa. Mereka
menjadi kaget dan risau, bagaimanapun juga mengenai Isa bin Maryam
menjadi masalah yang krusial karena jelas-jelas Islam menolak ketuhanan
Isa bin Maryam. Sempat terpikir untuk mencari jawaban yang bisa
menyenangkan Najasyi, tetapi akhirnya semua ditepiskan, tidaklah mereka
akan mengatakan sesuatu kecuali kebenaran semata.
Ketika mereka dihadapkan dan Najasyi menanyakan hal tersebut, Ja'far
berkata diplomatis, "Mengenai Isa bin Maryam, kami katakan seperti apa
yang dinyatakan oleh Nabi SAW kami, bahwa Isa adalah hamba Allah,
Rasul-Nya, Roh-Nya dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sang
Perawan Suci…"
Sebenarnya sama saja dan juga lebih mudah kalau dikatakan, "Isa bin
Maryam bukan Tuhan". Tetapi itu akan langsung menghantam keyakinan Raja
dan para pengikutnya. Di sinilah tampak kemampuan diplomatis yang
dimiliki Ja'far bin Abu Thalib. Mereka telah siap dan pasrah atas
keputusan dan kemarahan Raja Najasyi. Tetapi reaksi yang terjadi jauh di
luar dugaan. Tiba-tiba Najasyi turun dari tahtanya, ia mengambil
sepotong ranting yang ada di tanah dan berkata, "Demi Allah, Isa bin
Maryam tidak melebihi apa yang kamu katakan, walaupun hanya sepanjang
ranting ini. Kalian aman di sini, jika ada orang yang menghina dan
mencerca kalian, dia akan menanggung denda. Aku tidak suka seandainya
memiliki gunung emas, sedangkan aku menyakiti salah satu dari kalian."
Sebagian pembesar dan panglimanya tampak tidak senang dengan perkataan
Najasyi, mereka mendengus marah. Najasyipun berkata, "Aku tidak perduli
jika kalian marah, kembalikan hadiah yang diberikan oleh kedua orang itu
(utusan Quraisy), Demi Allah, Allah tidak menerima suap dariku ketika
Dia memberikan amanat kerajaan ini, karena itu aku tidak perlu menerima
suap dalam urusan-Nya. Tidak juga Allah menuruti kemauan orang banyak
dalam urusanku, sehingga aku tidak perlu menuruti kemauan kalian dalam
urusanNya."
Dengan terpaksa mereka mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada dua
utusan Quraisy, dan keduanya keluar dari majelis Najasyi dengan terhina.
Ja'far dan para muhajirin lainnya tetap tinggal di Habasyah sampai
datang perintah Nabi SAW agar mereka segera berhijrah lagi ke Madinah,
itu terjadi di bulan Dzulhijjah 6 H, atau Muharam 7 H. Tetapi sebelum
mereka meninggalkan bumi Habasyah, Raja an Najasyi menyatakan dirinya
memeluk Islam, sesuai dengan seruan Nabi SAW, di hadapan Ja’far bin Abu
Thalib. Pada saat yang sama, Najasyi juga mengadakan ‘pesta’ pernikahan
Nabi SAW dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ia juga memberikan hadian
dan perbekalan yang cukup melimpah kepada kaum muhajirin yang dipimpin
Ja’far ini.
Dalam perjalanan hijrah ke Madinah ini mereka bersama-sama dengan Abu
Musa al Asy'ari dan kaumnya, Asy'ariyyin yang berasal dari Yaman. Kaum
Asy'ariyyin ini sebenarnya ingin menyertai Nabi SAW dan pasukan muslim
lainnya yang akan menyerang kaum Yahudi di benteng Khaibar, tetapi
perahu mereka mengalami kerusakan dan terdampar di Habasyah beberapa hari lamanya.
Rombongan muhajirin ini bertemu dengan Nabi SAW yang baru pulang dari perang Khaibar, Nabi SAW langsung memeluk Ja'far
dengan hangat dan berkata, "Aku tidak tahu, mana yang lebih
menggembirakan aku, dibebaskannya Khaibar atau kembalinya Ja'far…!!"
Setelah itu Nabi SAW memberikan bagian ghanimah Perang Khaibar mereka semua.
Di Madinah, Ja’far berkumpul lagi dengan banyak sahabat dan kerabatnya
yang memeluk Islam, termasuk kaum Anshar yang baru dikenalinya saat itu.
Ada senang dan haru, tetapi juga ada sedih, karena sebagian dari mereka telah syahid di medan
perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya. Tiba-tiba saja muncul gairah
dan kerinduan ketika mengenang mereka, gairah untuk menerjuni medan perjuangan dan syahid menyusul mereka, "Kapankah aku bisa berbuat demikian pula…??" Begitu angan-angannya.
Beberapa pertempuran kecil dan beberapa pengiriman pasukan setelah
Perang Khaibar dan Umrah Qadha' belum bisa menutupi dan memuaskan gairah
Ja'far untuk berjuang di jalan Allah, sampai tibanya Perang Mu'tah.
Pada perang Mu'tah, Nabi SAW menetapkan bahwa pimpinan pasukan adalah
Zaid bin Haritsah, jika gugur digantikan oleh Ja'far bin Abu Thalib, dan
jika ia gugur juga digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Dari apa yang
dipesankan oleh Nabi SAW tersebut, Ja'far yakin betul bahwa kegairahan
dan kerinduannya akan terpuaskan dalam pertempuran ini, karena beliau
telah menunjuk penggantinya. Artinya, kerinduannya untuk menjadi syahid
sebagaimana banyak sahabat dan kerabat lainnya pasti menjadi kenyataan.
Semangatnya pun jadi makin menggelora.
Nabi SAW menyiapkan tigaribu tentara dalam pasukan Mu'tah tersebut, dan
itu merupakan jumlah pasukan terbesar yang pernah dikirimkan Nabi SAW.
Pasukan di bawah komando Zaid bin Haritsah ini bergerak ke arah Syam,
Nabi SAW sendiri mengantar keberangkatannya sampai ke Tsaniyatul Wada'.
Setibanya di Mu'an, tak jauh dari Mu' tah, mereka mendapati kenyataan
bahwa Pasukan Romawi yang harus mereka hadapi sejumlah seratus ribu
orang, itupun masih ditambah tentara dari sekutu-sekutunya sejumlah
seratus ribu orang, sehingga totalnya duaratus ribu tentara. Sungguh
kekuatan yang sangat tidak berimbang. Pasukan muslim bermusyawarah, dan sempat memutuskan untuk mengabarkan jumlah pasukan musuh kepada Nabi SAW, sambil menunggu petunjuk beliau lebih lanjut.
Tetapi pendapat tersebut ditentang oleh komandan lapis ke tiga, Abdullah
bin Rawahah. Menurutnya, pertempuran ini adalah karena Allah dan
Agama-Nya, bukan karena jumlah pasukan yang dihadapinya, Rasulullah SAW
telah menetapkan pertempuran ini dan tugas mereka melaksanakannya.
Apapun hasilnya adalah kebaikan semata, yakni kemenangan, atau gugur
sebagai syahid. Pendapat ini yang akhirnya disetujui secara aklamasi.
Pertempuran-pun berlangsung seru, jumlah yang sedikit tidak mematahkan
semangat perjuangan mereka, dan tidak berarti menjadi mudah bagi pasukan
Romawi untuk menaklukan pasukan muslim. Ketika akhirnya Zaid menemui
syahidnya, Ja'far segera mengambil panji peperangan dari tangan Zaid,
dan terus menghambur menyerang musuh. Ketika gerakan kudanya makin
terbatas sehingga tidak leluasa berperang, ia turun dari kudanya yang
bernama Syaqra' dan melukai kaki kudanya. Ia tidak ingin kudanya
tersebut lari dari medan pertempuran, selagi tuannya masih terus berjuang. Ia adalah orang pertama yang melakukan hal tersebut.
Sebagian riwayat menyebutkan, Ja’far tidak turun, tetapi terlempar jatuh
dari kudanya karena begitu semangatnya, dan ia meneruskan perjuangan
dengan berjalan kaki. Tangan kiri memegang panji dan tangan kanan terus
menyerang musuh tanpa ampun. Ketika tangan kanannya putus terkena
senjata lawan, ia mengepit panji dengan sisa tangan kanannya, dan tangan
kirinya meraih pedang untuk meneruskan menyerang musuh. Ketika tangan kirinya juga terputus kena pedang lawan, ia berdiri tegak mempertahankan panji agar tetap berkibar, sampai akhirnya senjata lawan bertubi-tubi menyerangnya hingga
dia gugur sebagai syahid, gugur dengan senyum tersungging karena gairah
dan kerinduannya terpuaskan. Panji peperangan diambil alih Abdullah bin
Rawahah untuk meneruskan perempuran.
Ketika Nabi SAW diberitahu tentang kondisi tubuh Ja'far bin Abu Thalib
tersebut, beliau mengatakan bahwa Allah menganugerahinya dua sayap di
surga sebagai pengganti tangannya tersebut. Karena itu, Ja'far juga
digelari dengan 'ath Thayyar' (penerbang) atau 'Dzul Janahain' (orang
yang memiliki dua sayap).
0 komentar:
Posting Komentar